M. Badrus Sholeh [2]
A. Reformalisasi Agama Di Indonesia; Sebuah Langkah Mundur
Kondisi Indonesia kontemporer –khususnya semenjak era reformasi mulai bergulir,—menghadirkan sebuah fenomena yang unik, menarik, namun menyisakan ironi yang mengkhawatirkan. Fenomena itu berupa maraknya tuntutan penerapan kembali –secara formal—simbol-simbol dan ritualitas agama tertentu dalam kancah publik –baik pada tataran politik, sosial maupun budaya— tanah air. Penggunaan label-label agama dalam aktivitas partai politik misalnya, atau mendapuk pemuka agama sebagai patron demi terdulangnya suara dalam pemilu, adalah salah satu bentuk kongkrit fenomena di atas. Tak hanya itu, tuntutan itu bahkan juga bermuara kepada upaya menggusur pancasila sebagai dasar negara, untuk kemudian menyandarkan penyelenggaraan negara atas dasar ajaran agama-agama tertentu.
Ironisnya, fenomena di atas justru mencuat kala usia bangsa ini telah beranjak dewasa --yang seharusnya telah matang dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan siap tinggal landas sejajar dengan bangsa lain—. Alih-alih mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain, fenomena di atas justru –menurut hemat penulis—merupakan langkah sangat mundur dan merupakan bentuk pengingkaran terhadap cita-cita terbentuknya Indonesia seperti yang diimpikan para founding Fathers. Asumsi ini didasarkan atas fakta bahwa tuntutan formalisasi agama dalam ranah publik justru akan membuat makna kemajemukan yang harmonis menjadi tereliminir,[3] dan karenanya merupakan bentuk deviasi atas bhineka tunggal ika –yang menjadi elan vital persatuan bangsa ini--. Lebih jauh lagi, penerapan agama secara formal –apalagi pendasaran Indonesia atas ajaran agama tertentu—dalam kehidupan bernegara, adalah pereduksian –bahkan penghilangan paksa—atas posisi pancasila sebagai civil religion di Indonesia.
B. Pancasila di Tengah Masyarakat Multi-Agama; Civil Religion ala Indonesia
Adalah Robert N Bellah[4] yang mengemukakan bahwa civil religion bisa menjadi model pengembangan masyarakat plural di masa depan. Hanya saja, ia lantas menggaris bawahi bahwa kata religion di sini tidak merujuk pada pengertian agama sebagai satu sistem kepercayaan, atau super-agama dari agama-agama yang ada di negara itu, melainkan, menjadi indikator perekat perbedaan dan titik temu (common platform) multiagama.
Dalam ruang keindonesiaan, Pancasila bisa disebut sebagai civil religion. Sama halnya dengan kata religion pada usulan Bellah, sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak menunjukkan pembelaan pada agama tertentu. Tetapi, bermaksud menegaskan bahwa agama-agama di Indonesia berintikan satu Tuhan, yaitu Yang Maha Esa. Hal ini juga didukung dengan bukti dihapuskannya tujuh kata "kontroversial" dalam Piagam Jakarta, yang merupakan bahan mentah Pancasila.[5]
Selain itu, proses diterimanya Pancasila sebagai falsafah negara oleh the founding fathers negara ini dapat menjadi titik picunya sebab melalui perdebatan panjang dan melelahkan antara kelompok nasionalis Muslim yang menginginkan agama sebagai dasar negara dan kubu nasionalis sekuler yang menolaknya. Kesepakatan itu menandakan Pancasila sebagai perangkum heteroginitas dan pesinergis kemajemukan sehingga multipluralisme yang ada menjadi khazanah dan kekayaan yang tak ternilai.
Senada dengan hal di atas, Muhammad Ali mencatat, bahwa dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religious policy, di mana negara dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkait dengan tradisi keagamaan tertentu. Pada titik ini, posisi Pancasila mirip dengan civil religion dalam negara-negara multi-agama, meski konsep civil religion belum diakui secara resmi.[6]
Selain realitas di atas, fakta yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa Pancasila bila dilihat dari proses “kelahirannya” lebih merupakan jalan keluar pragmatis dari situasi dilematis yang berupa kompromi politis, daripada suatu ajaran atau ideologi, bahkan lebih jauh sebagai agama bersama. Tetapi, jalan kompromi yang dirumuskan dalam Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah sekaligus pencerminan orientasi nilai-nilai orang Indonesia yang multiagama dan etnis (common culture of Indonesia) yang harus dijunjung bersama. Karenanya, Pancasila memang bukan secara sengaja dimaksudkan menjadi semacam civil religion. Tetapi, dari fungsi dan tempatnya dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia, ia bisa disebut sebagai konsep civil religion “ala” Indonesia.
C. Melangkah dari –Sekedar-- Ritual-Simbolitas Agama; Pembumian Kembali Pancasila –Sebagai Civil Religion—
Dari paparan di atas, dapatlah di tarik sebuah simpul bahwa, upaya-upaya reformalisasi, revitalisasi –atau apapun istilahnya—ajaran agama dalam ruang publik bernegara, jelas merupakan langkah mundur dan pengingkaran terhadap nilai-nilai pancasila, dan lebih jauh lagi, merupakan langkah yang semakin menjauhi upaya terlahirnya Indonesia sebagaimana cita-cita dan pengharapan warganya –yang kebetulan-- serba multi.
Secara khusus, dalam diskursus keberagamaan, keberadaan ritual dan simbol tentu merupakan sesuatu yang mutlak harus ada sekaligus ditapaki, sebab dengan ritual dan simbollah sebuah nilai dan spirit agama dapat terrengkuh.[7] Hanya saja, jika kesalehan ritual dan eksistensi simbol lantas diterapkan –secara—formal dan frontal dalam ranah publik, yang muncul kemudian adalah sikap-sikap otoriter, yang jelas merugikan bagi kelangsungan dan masa depan bangsa ini –antara lain ancaman perpecahan karena perbedaan simbol, ritual dan keyakinan--. Selain itu, barangkali, hal ini pula yang memunculkan anomali-anomali ironi di negeri ini, di mana 100 % warganya beragama –dan berkeyakinan--, namun –misalnya—korupsi tumbuh subur bak cendawan di musim hujan, atau anomali yang lain adalah warganya saleh secara ritual –terbukti dengan sesaknya rumah-rumah ibadah, maraknya kegiatan-kegiatan bernuansa religius dan menjamurnya slogan-slogan keagamaan--, namun tidak saleh secara sosial –seperti mendiamkan terjadinya ketimpangan-ketimpangan sosial, tidak tanggap dalam mengatasi kemiskinan dan lain sebagainya--.
Maka, semestinya bukan ritual dan simbol yang dikedepankan dalam ranah publik-sosial, melainkan nilai dan spirit yang terkandung dalam setiap ritual dan simbol-simbol agama. Dengan kata lain, pada tataran simbol dan ritual, agama seharusnya dikungkung dalam ruang privat, sedangkan pada tataran nilai dan spirit, agama menjadi ruh tingkah dan etika diruang publik. Pada sisi inilah, keberadaan Pancasila kiranya menjadi sangat penting, yakni sebagai penyatu arah dan visi keberagamaan warganya, sebagai standar etik, dan sekaligus sebagai “agama” saat menyelami ranah publik Indonesia yang majemuk.
-oOo-
[1] Sekedar hantaran dalam seminar “Pancasila dan Civil Religion Di Indonesia” eL-KAF Surabaya, 13 Januari 2009.
[2] Peserta program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[3] Pada titik ini, pendapat Prof. Dr. Abd. A’la juga menarik untuk dicermati yakni jika agama diusung ke wilayah publik, yang terjadi ujung-ujungnya adalah pemaksaan atas nama Tuhan dari yang halus hingga kasar terhadap publik untuk menaati segala aturan-Nya. Setiap orang atau kelompok yang menolak dianggap melawan agama sehingga "atas nama agama" sah untuk didiskreditkan dalam beragam bentuknya. Lihat, Abd A’la, Riau Pos (JPNN), 05 Mei 2006.
[4] Sebenarnya substansi civil religion yang digagas Bellah ini, menurut Nafisul Atho’ merupakan pengembangan dari pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial. Lihat, Nafisul Atho’ “ Pancasila Sebagai Civil Religion di Indonesia”, tesis, program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, tidak diterbitkan.
[5] Dudi Sabil Iskandar, ""Civil Religion", Piagam Madinah, dan Pancasila"
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0105/31/opini/civi04.htm
[6] Muhammad Ali juga menambahkan bahwa dalam negara yang menganut Pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Itu karena negara Pancasila adalah negara nonsektarian, bukan non-religius. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu menjadi negara sekuler dalam pengertian pemisahan total negara dan agama. Dengan Negara Pancasila, ciri-ciri positif negara sekuler seperti kebebasan beragama, kewarganegaraan demokratis, pluralisme, multikulturalisme, anti-komunalisme, anti-sektarianisme, dan anti-diskriminasi, dapat diterapkan. Ciri-ciri positif negara religius seperti pembangunan moral agama juga didukung negara sejauh tidak bersifat diskriminatif dan dalam kerangka menjaga kemaslahatan seluruh warga negara. Lihat, Muhamad Ali, "Indonesia Negara Sekuler?" dalam http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0208/02/opini/indo04.htm
[7] Seperti gambaran G. Malinowsky dalam bukunya yang berjudul Key and symbol.