Kamis, 28 Januari 2010

REKONFIGURASI PEMIKIRAN ISLAM MADZHAB JOGJA

M. Badrus Sholeh

Tentang Madzhab Jogja; Sebuah Refleksi

Madzhab Jogja, secara umum merupakan sebuah term, yang seringkali digunakan untuk menyebut salah satu kutub pemikiran ke-Islaman yang berkembang di Indonesia.[1] Walaupun pada awal kelahirannya pemakaian istilah madzhab Jogja ini hanya terbatas pada produk-produk pemikiran sekalangan dosen-dosen UIN Sunan Kalijaga dalam bidang Ushul Fiqh,[2] namun dapat dipahami bersama, bahwa dalam khazanah keilmuan Islam, Ushul Fiqh tergolong sebagai ilmu pokok –dasar--, yang menjadi instrumen vital dalam setiap proses pencarian sebuah hukum –istimbath--, dan memiliki posisi yang pararel dengan bidang keilmuan Islam yang lain. Karenanya, berbicara tentang Ushul Fiqh, berarti juga membicarakan disiplin pemikiran Islam yang lain, dan dengan demikian istilah madzhab Jogja juga relevan untuk dirujukkan kepada setiap pemikiran ke-Islaman, khususnya yang tumbuh dan berkembang di kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga, yang dimaksudkan sebagai upaya –‘Ijtihad’-- untuk melakukan rekonstruksi –atau bahkan dekonstruksi—terhadap produk-produk pemikiran –dan hukum- Islam yang telah ada sebelumnya.

Sejauh ini, realitas yang hadir menampakkan bahwa pemikiran-pemikiran Islam madzhab Jogja[3] telah menjadi salah satu mainstream dalam pergumulan pemikiran Islam di tanah air, dengan segala corak dan metodologi yang dikembangkannya.[4] Bahkan dalam perjalanannya, madzhab ini kemudian muncul sebagai salah satu kiblat dominan bagi perkembangan wacana ke-Islaman di Indonesia, yang keberadaannya tidak dapat di kesampingkan begitu saja.[5] Dengan kata lain, pembicaraan-pembicaraan seputar wacana pemikiran Islam di Indonesia akan terkesan kurang menarik, bila tidak disertakan di dalamnya nuansa pemikiran-pemikiran ke-Islaman khas madzhab Jogja.

Bila ditelaah lebih lanjut, pemikiran Islam madzhab Jogja ini sangat didominasi oleh corak dan model-model pemikiran Islam berhaluan liberal, yang kental dengan nuansa penempatan rasio dalam porsi yang dominan.[6] Hal ini sangat nampak pada nama tokoh-tokoh –Barat dan Islam, baik kontemporer ataupun tokoh klasik-- yang pemikirannya seringkali dijadikan bahan rujukan oleh pemikir-pemikir Islam madzhab ini, yang pada umumnya dikenal sebagai tokoh-tokoh berhaluan liberal dan humanis,[7] yang kadangkala akibat keliberalan pemikirannya itu mendapatkan sangsi-sangsi dari pihak pemerintah, baik sangsi yang berupa hudud –semisal hukuman pancung--, maupun sangsi yang bersifat politis –semisal ekstradisi ke negara lain--. Tak heran, pemikiran tokoh-tokoh Islam seperti Al-Hallaj, Hassan Hanafi, M. Arkoun, Abid al-Jabiri, Abdul Karim Soroush, Nasr Hamid Abu Zayd, Khaled Abou el-Fadl, Weal B. Khallaq, Abdullah Ahmed an-Na’im, Asghar Ali Engineer dan semacamnya, lebih familier dan populer di kalangan penganut madzhab ini, ketimbang pemikiran-pemikiran tokoh semacam Hasan al-Banna, Ali Syari’ati, Alwi al-Maliki, Syekh Yassin, Muhammad Imarah dan lain sebagainya, yang lebih dikenal sebagai pemikir Islam –klasik dan kontemporer-- berhaluan literalis –biasa diistilahkan dengan golongan “Islam Kanan” atau “Islam garis keras”, “Islam radikal”, “Islam revivalis”, “Islam Fundamentalis”--.[8]

Walaupun corak keliberalan tersebut –memang—tidak mewarnai pemikiran seluruh civitas akademika,[9] namun tidak dapat dipungkiri bahwa tipologi itu telah menjadi arus besar corak pemikiran ke-Islaman di lingkungan UIN Sunan Kalijaga –yang merupakan basis madzhab Jogja--. Terlepas dari kenyataan apakah corak tersebut merupakan buah dari latar belakang pendidikan para dosen –yang didominasi alumni perguruan tinggi Barat—,[10] namun sekali lagi, realitas tersebut telah menampilkan sebuah fakta yang gamblang tentang corak dan konfigurasi pemikiran yang dikembangkan oleh komunitas madzhab Jogja.

Rekonfigurasi Pemikiran Islam Madzhab Jogja; Sebuah Tawaran

Konfigurasi yang ditampilkan oleh pemikiran-pemikiran Islam madzhab Jogja –sebagaimana paparan di atas--, memberikan sebuah kesan bahwa institusi UIN Sunan Kalijaga –sebagai basis madzhab itu--, hanya dikhususkan untuk menjadi tempat persemaian ide-ide liberal dalam dunia pemikiran Islam, sementara ide-ide yang tidak sesuai –bahkan berlawanan-- dengan mainstream tersebut tidak akan mendapatkan tempat yang layak. Hal ini kemudian turut menjadi penguat asumsi masyarakat umum, yang menilai bahwa UIN Sunan Kalijaga adalah tempat orang-orang liberal dalam pemikiran Islam, dan hanya akan mencetak intelektual-intelektual Muslim yang berhaluan liberal pula.

Pada satu sisi kenyataan di atas adalah hal yang membanggakan, sebab dengan demikian UIN Sunan Kalijaga telah membuktikan diri bahwa ia mampu mengemban amanat dan tanggung jawab untuk memunculkan muslim-muslim berpandangan modern,[11] yang tanggap dalam merespon setiap gerak dinamis peradaban, sebagaimana cita-cita yang dimaksudkan oleh para founding father dan penggagasnya. Namun di sisi lain, realitas tersebut juga menyisakan sebuah ironi, sebab dengan ‘dipaksakannya’ nuansa liberalitas dalam setiap pemikiran-pemikirannya ke-Islamannya, UIN Sunan Kalijaga sebenarnya telah kehilangan substansi dirinya yang paling mendasar, yakni bahwa sebagai sebuah institusi akademik, seharusnya ia mampu menempatkan dirinya pada posisi yang netral, adil dan objektif. Artinya, ibarat sebuah restoran, UIN Sunan Kalijaga seharusnya bertugas menyediakan pemikiran-pemikiran Islam dalam berbagai menu, dan kemudian mempersilahkan kepada para civitas akademikanya –khususnya mahasiswa—untuk memilih varian yang dirasa cocok dan sesuai dengan kebutuhan –selera--, dan bukannya berlaku seperti koki dapur umum penjara, yang memaksakan satu menu tertentu untuk dimakan oleh semua narapida.[12]

Satu fenomena yang juga menarik untuk di cermati dalam hal ini adalah munculnya bentuk-bentuk penyerangan –baik fisik maupun mental—yang diduga dilakukan oleh kalangan Islam garis keras, terhadap –khususnya—aktifis mahasiswa UIN Sunan Kalijaga,[13] di mana pada umumnya, misi penyerangan dan teror itu selalu dibungkus dalam slogan “Gerakan Islamisasi Kampus”.[14] Tanpa berpretensi untuk membenarkan tindakan tersebut, barangkali penyerangan dan teror itu –bila benar pelakunya adalah Islam garis keras-- merupakan salah satu bentuk protes atas sikap ekslusif UIN Sunan Kalijaga dan madzhab Jogja, yang memberikan tempat luas bagi pergulatan ide-ide dan pemikiran ke-Islaman bernuansa liberal, namun menutup kesempatan –tidak mengakomodir-- ide-ide dan pemikiran Islam yang bernuansa lain.

Maka dengan demikian, sudah saatnya dipertimbangkan tentang adanya kemungkinan untuk melengkapi warna liberal dalam konfigurasi pemikiran Islam madzhab Jogja –dan UIN Sunan Kalijaga-, dengan cara memberikan tempat persemaian yang memadai kepada nuansa pemikiran-pemikiran Islam literal maupun warna-warna pemikiran ke-Islaman yang lain,[15] dengan maksud agar institusi-institusi itu nantinya dapat menciptakan kader-kader Islam yang lebih konsfiguratif dan kaya warna.

Wa ba’du, tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk pendiskreditan atau bahkan upaya pengkultusan terhadap pribadi-pribadi maupun terhadap institusi tertentu, namun dimaksudkan akan menjadi salah satu bentuk masukan dan harapan, demi penyempurnaan kiprah UIN Sunan Kalijaga dan madzhab Jogja. Semoga.



[1] Sedangkan madzhab yang lain adalah madzhab Ciputat, sebuah kutub pemikiran ke-Islaman yang dimunculkan dan digagas oleh civitas akademika IAIN –UIN—Syarif Hidayatullah, Ciputat – Jakarta.

[2] Produk-produk pemikiran tersebut telah diterbitkan oleh penerbit ar-Ruzz, Jogjakarta.

[3] Sebagaimana madzhab Ciputat, kelahiran madzhab Jogja juga dibidani oleh kalangan akademisi yang concern terhadap perkembangan pemikiran-pemikiran Islam. Dalam hal ini, madzhab Jogja digagas dan dimunculkan oleh kalangan civitas akademika IAIN –sekarang UIN—Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Dua madzhab tersebut –Ciputat dan Jogja—setidaknya turut menjadi indikasi pembenar bahwa salah satu pelaku proyek modernisasi Islam di Indonesia adalah Institusi IAIN –UIN--. Realitas ini sangat linear dengan komitmen Mukti Ali pada waktu ia menjabat sebagai Menteri Agama, yang sangat menginginkan bahwa IAIN akan tumbuh menjadi agen pembaharuan Islam di Indonesia, di mana dalam mewujudkan keinginannya itu Mukti Ali melakukan kolaborasi dengan Harun Nasution –yang pada waktu itu menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta—yang dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharuan Islam di Indonesia.

[4] Terlepas dari persoalan, apakah kelahirannya memang dimaksudkan untuk menjadi wacana tanding bagi kutub pemikiran ke-Islaman lain –baca; madzhab Ciputat—, atau bahkan dimaksudkan untuk melengkapi pemikiran-pemikiran madzhab yang muncul terlebih dulu tersebut.

[5] Menurut analisa penulis, popularitas pemikiran Islam madzhab Jogja ini banyak didukung oleh keberadaan UIN Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai PTAIN pertama di Indonesia, sekaligus juga didukung oleh keberadaan Jogja sebagai kiblat intelektual Indonesia. Sebagai PTAIN tertua, keberadaan UIN Sunan Kalijaga telah dikenal sejak lama oleh masyarakat Indonesia sebagai kawah candradimuka intelektual-intelektual Muslim berhaluan liberal—modernis--, yang meramaikan dunia pemikiran Islam di tanah air, semisal Mukti Ali, Djohan Effendi, dan lain sebagainya. Sedangkan keberadaan Jogja sebagai pusat intelektual Indonesia, telah menjadikan setiap ide-ide baru –dalam bidang wacana apapun—dapat berkembang dengan subur.

[6] Hal ini dapat dilihat pada pemakaian metode hermeneutik –misalnya--, yang menjadi metode dominan dalam pengkajian-pengkajian pemikiran Islam madzhab ini. Nuansa ini dapat ditemukan pada setiap pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh dosen-dosen –dan mahasiswa—UIN Sunan Kalijaga, dan karya-karya yang diterbitkan di lingkungan UIN Sunan Kalijaga, baik yang berupa jurnal ataupun buku-buku. Sebagai salah satu contohnya adalah buku Antologi Studi Islam, yang diterbitkan oleh IAIN –UIN—Sunan Kalijaga, yang merupakan kumpulan karya-karya Dosen UIN Sunan Kalijaga dalam berbagai lintas disiplin studi Islam. Contoh terbaru adalah buku ‘kontroversial’ berjudul ‘Negara Tuhan’ karya salah satu dosen muda –fakultas syari’ah-- UIN Sunan Kalijaga, yang memunculkan banyak reaksi dari –khususnya-- kalangan Islam garis keras.

[7] Dalam bahasa yang ekstrim, tokoh-tokoh sejenis ini biasa mendapatkan julukan sebagai penganut “Islam Kiri”atau “Islam Liberal”.

[8] Tak hanya kalangan Dosen, kenyataan ini juga sangat nampak pada wacana-wacana yang berkembang di kalangan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Pemikiran-pemikiran tokoh “kiri”, selalu menghiasi setiap diskusi-diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa. Sementara, pemikiran-pemikiran tokoh “kanan” tidak banyak mendapatkan tempat, dan bahkan mereka terkesan ‘alergi’ untuk berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran tokoh jenis ini.

[9] Dalam artian, masih ada ‘segelintir’ anggota civitas akademika UIN Sunan Kalijaga yang mempertahankan metode dan corak konservatif dalam pemikiran-pemikirannya. Secara khusus, corak berpikir model ini, biasanya banyak ditemukan pada pemikiran-pemikiran tenaga-tenaga pengajar yang telah lanjut usia, yang tidak –atau belum—sempat beradaptasi dengan perkembangan ke-ilmuan –baik dengan cara meningkatkan kualifikasi jenjang pendidikan, ataupun dengan jalan membuka diri untuk selalu bersinggungan untuk wacana-wacana baru--. Dengan demikian, semangat yang mereka usung adalah semangat-semangat yang mereka alami pada saat kuliah silam.

[10] Umumnya, telah timbul sebuah persepsi bahwa rata-rata lulusan Barat akan memiliki nuansa pemikiran liberal, sedangkan lulusan Timur Tengah rata-rata memiliki pandangan yang lebih konservatis.

[11] Mengingat liberalitas selalu dikait-kaitkan dengan modernitas, bahkan banyak anggapan yang menyatakan bahwa modernitas adalah satu hal yang ‘pasti’ pararel dengan liberalitas. Menurut penulis, adalah hal yang benar apabila liberalitas dikatakan merupakan bagian dari modernitas, namun demikian, --menurut penulis—modernitas tidaklah harus selalu disandarkan seutuhnya kepada liberalitas.

[12] Pendapat ini didasari oleh asumsi bahwa mahasiswa UIN Sunan Kalijaga berangkat dari latar belakang pendidikan yang berbeda –heterogen--, yang karenanya tentu juga memiliki perbedaan karakter, pandangan dan pemahaman terhadap studi-studi ke-Islaman. Sebagai contoh, walaupun sama-sama berasal dari latar belakang pendidikan pesantren, seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga jebolan pesantren Gontor tentu akan berbeda karakter, pandangan dan pemahamannya terhadap studi-studi ke-Islaman, bila dibandingkan dengan karakter, pemahaman dan pandangan yang dimiliki oleh seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, yang jebolan pesantren Langitan – Tuban. Persoalannya adalah apakah kemudian input yang heterogen itu harus dipaksakan menjadi out put yang homogen ? bukankah dengan demikian justru tidak liberal ?

[13] Beberapa kali aktifis mahasiswa diteror dan diserang oleh sekelompok orang tak dikenal, yang mengenakan pakaian dan atribut-atribut, yang selama ini selalu diidentikkan dengan simbol-simbol dan atribut yang biasa digunakan oleh kalangan Islam garis keras. Salah satunya adalah penyerangan yang pernah dialami oleh kru majalah Arena.

[14] Gerakan ini –bila benar-- tentu sangat paradoks dengan keberadaan UIN Sunan Kalijaga sebagai salah satu Institusi yang bernafaskan Islam.

[15] Menarik apa yang diceritakan oleh Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, Ph.D. dalam sebuah kesempatan perkuliahan, yang menyatakan bahwa UIN Sunan Kalijaga memerlukan seseorang yang bisa mengimbangi keliberalan pemikiran yang saat ini mewarnai UIN Sunan Kalijaga.

Selasa, 26 Januari 2010

KIAI, PESANTREN DAN TRADISIONALISME ISLAM JAWA (Telaah Buku “Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai” Karya Zamakhsyari Dhofier)

Kilasan Isi Buku

Buku yang menjadi objek telaah ini pada awalnya merupakan sebuah disertasi yang telah menghantarkan Zamakhsyari Dhofier meraih gelar doktoral dalam bidang Antropologi Sosial di Australian National University (A.N.U.), Camberra, pada tahun 1980. Disertasi yang mengupas tentang kehidupan Kiai tersebut disusun berdasarkan atas penelitiaan yang dilakukannya sejak bulan September 1977 sampai dengan bulan Agustus 1978 di dua pesantren, yakni Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Tegalsari Salatiga. Walaupun hasil penelitian –yang kemudian menjadi buku—tersebut sudah kurang relevan untuk saat ini –mengingat pesatnya akslerasi perkembangan dan kemajuan pesanten--, namun setidaknya, Zamakhsyari –melalui penelitiannya ini—telah berhasil menyingkap tirai gelap yang selama ini menyelimuti dunia pesantren –termasuk di dalamnya kehidupan Kiai, Santri dan segala elemen di dalamnya--, yang memiliki kecenderungan tertutup –atau menutup diri—dari lingkungan masyarakat luas.

Mengawali penelitiannya, Zamakhsyari mengemukakan bahwa sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan istilah Pondok. Zamakhsyari mengidentifikasikan bahwa Istilah tersebut berasal dari nama bangunan yang menjadi tempat tinggal murid yang sedang mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman, yang berbentuk bangunan semi permanen berbahan Bambu atau papan, di mana penamaan tersebut diadaptasi dari bahasa Arab (fundug), yang berarti hotel atau asrama. Selain istilah pondok, dikenal pula istilah pesantren, yang berasal dari kata dasar santri, yang ditambahi dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Sementara kata santri sendiri, menurut Zamakhsyari –dengan mengutip pendapat A.H. Johns dan C.C. Berg--, berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji atau dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang ahli dalam kitab-kitab suci Hindu.

Lebih lanjut Zamakhsyari menjelaskan bahwa eksistensi pesantren –khususnya di Jawa—di awali dengan adanya sebuah kesadaran dari kalangan terpelajar (baca ; Kiai dan golongan yang memiliki kemampuan mumpuni dalam bidang agama) bahwa masyarakat Muslim membutuhkan pendidikan agama, dalam menerjemahkan dan mengaplikasikan doktrin-doktrin agama. Kesadaran tersebut –kemudian—teraplikasikan dalam bentuk pengajian-pengajian rutin yang diberikan Kiai kepada Masyarakat sekitar. Lambat laun pengajian-pengajian tersebut berkembang menjadi sebuah institusi pendidikan keagamaan, yang eksistensinya didukung oleh dua hal yakni, adanya kesadaran Kiai untuk secara kontinu memberikan pendidikan kepada masyarakat –yang diyakini merupakan tanggung jawab dari Allah yang harus mereka jalankan—dan adanya kepatuhan masyarakat kepada sosok Kiai yang dianggap memiliki keistimewaan, dan karena keistimewaan itu mereka menganggap bahwa sosok Kiai memiliki derajat di atas mereka –dalam relasi ini tampak pola relasi feodalistik, yang pada dasarnya merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Jawa-- .

Seiring dengan kian kompleksnya dinamika masyarakat, maka lembaga pendidikan agama tersebut kemudian mulai merancang berbagai elemen, yang dipandang dapat menegaskan sekaligus mengukuhkan struktur dan kultur pesantren. Secara umum, elemen yang menjadi ciri sebuah pesantren terdiri dari lima hal yakni, pertama, terdapatnya pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal santri. Pada umumnya bangunan tempat tinggal santri ini terpisah dari lingkungan luar, dengan maksud agar Kiai mudah mengawasi Santri dan Santri dapat belajar dengan intensif, tanpa gangguan dari lingkungan sekitar. Pada masa dahulu, ada beberapa pesantren yang mengharuskan santri untuk membangun sendiri tempat tinggalnya. Namun pada masa sekarang, hampir seluruh pesantren telah menyediakan tempat tinggal bagi santrinya berupa bangunan permanen. Kedua, adanya masjid sebagai tempat Sholat, yang sekaligus berfungsi sebagai tempat di mana proses transformasi keilmuan dari Kiai kepada santri berlangsung. Ketiga, adanya santri sebagai pihak yang ingin belajar. Prototipe santri ini dibagi menjadi dua yakni santri yang menetap dipesantren dan santri yang tidak menetap, hanya datang untuk belajar dan pulang kembali ke rumah mereka tatkala pelajar usai. Prototipe santri yang terakhir ini juga dikelan dengan istilah santri Kalong atau santri nglaju. Keempat, adanya pengajaran kitab-kitab salaf –klasik-- dan yang kelima adanya kiai, yakni orang yang memberikan pengajaran. Adakalanya Kiai ini merupakan pendiri sekaligus pengasuh dari pesantren tersebut. Dalam proses belajar-mengajar, biasanya kiai dibantu oleh beberapa orang yang telah dipercayanya, yang sering dikenal dengan istilah ustadz.

Dari kelima elemen di atas, sosok Kiai merupakan elemen yang paling esensial sekaligus penentu dalam kehidupan sebuah pesantren, di mana kemajuan sebuah pesantren –yang biasanya diukur dari banyaknya santri—sangat ditentukan oleh integritas keilmuan –kealiman--sang kiai. Selain itu, sosok kiai diharuskan dapat menjadi suri tauladan bagi masyarakat, di mana masyarakat harus menghormati bahkan memuliakannya. Kenyataan inilah yang menempatkan sosok Kiai ke dalam komunitas ekslusiv dan elite dalam struktur masyarakat –khususnya masyarakat Jawa—, yang kehadirannya menjadi warna berpengaruh dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, budaya, politik, terlebih bidang agama.

Ekslusivitas komunitas kiai tersebut akan terus berlangsung dan tetap terjaga secara turun-temurun. Secara genealogis, setiap kiai di Jawa masih berada dalam lingkaran kekerabatan yang sangat kuat, baik secara langsung –keturunan-- atau pun tak langsung –karena sebab perkawinan atau relasi guru-murid--. Banyak kalangan yang menilai bahwa tali genealogis ini merupakan bukti ekslusivitas kehidupan kiai. Namun, jika dilihat dengan lebih obyektif, sebenarnya hal ini bukan semata-mata dikendalikan oleh tujuan primordial, melainkan ada beberapa alasan yakni pertama, para kiai ingin memiliki jaminan bahwa orang-orang yang kelak akan menggantikan posisi dan melanjutkan misinya telah teruji integritas dan kapabilitas keilmuannya. Untuk itu mereka bersikap sangat selektif, karena tidak mungkin bagi mereka memasukkan orang-orang yang belum teruji integritas dan kapabilitasnya ke dalam titik sentral pesantren yang mereka pimpin. Kedua, kuatnya dorongan teologis untuk memperoleh keturunan yang berkualitas. Ini tentu juga akan lebih mudah diketahui bila dilakukan perkawinan dengan sesama kerabat non-muhrim, ketimbang melakukan perkawinan dengan pihak luar yang belum mereka kenal. Ketiga, kaderisasi pendididikan akan lebih mudah dan intens dilakukan terhadap anak-cucu sendiri ketimbang terhadap santri umum. Itulah sebabnya beberapa anak kiai –dalam istilah jawa dikenal dengan istilah gus (laki-laki) dan neng (perempuan)-- yang dikirim ke pesantren tertentu memperoleh perhatian khusus dan keistimewaan tersendiri, demi tujuan kaderisasi tersebut. Semua hal tersebut berjalan secara terus-menerus dan turun-temurun sehingga pada akhirnya membentuk tradisi tersendiri, yang harus tetap dijaga dan dijalankan oleh kalangan pesantren.

Dalam perkembangannya, tradisi pesantren tersebut telah mengalami pergeseran-pergeseran yang dinamis sesuai perubahan zaman, sekalipun tidak dialami semua pesantren. Sinisme yang banyak muncul ialah bahwa tradisi salaf –yang cenderung doktriner dan anti kritik-- pesantren menjadi pemicu bagi kebekuan intelektualitas umat Islam. Hal ini mudah dimafhumi lantaran para kiai beserta pesantren-pesantrennya dalam menebarkan Islam di Jawa menggunakan tarekat sebagai strategi, di mana strategi tersebut dipilih karena Kiai memahami bahwa orang Jawa sangat lekat dengan watak kehidupan bernuansa mistis. Maka tarekat dipilih menjadi “pintu gerbang” untuk mengakrabkan Islam dengan orang-orang Jawa –yang merupakan masyarakat berwatak rural-agraris--.

Strategi inilah yang banyak dijadikan dasar oleh para pengkritik. Mereka mengemukakan beberapa hal yakni, Pertama, Praktek dzikir dan wirid dalam tarekat dianggap terlalu berlebihan sehingga melalaikan masyarakat dari kepentingan keduniawian, dan hanya memperhatian hal-hal yang bersifat ukhrawi. Padahal Islam juga sangat menuntut dinamisasi dan aktualisasi dalam konteks yang empiris. Kedua, banyak guru dan kiai tarekat yang dianggap mengamalkan hal-hal yang syirik, seperti mempercayai benda-benda – seperti azimat--. Ketiga, praktek dzikir melalui tawassul --murid tarekat sebelum dzikir terlebih dahulu mengingat gurunya-- dianggap sebagai keyakinan akan adanya perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan, yang notabene bertentangan dengan ajaran tauhid Islam.

Betulkah pandangan hidup kiai --dan pesantren-- memang lekat dengan nuansa kejumudan lantaran terlalu lekat dengan tarekat –tasawuf--? Zamakhsyari memang tidak menampik adanya “watak jumud” itu. Namun demikian, kejumudan tersebut bukanlah “kejumudan mati”, dalam pengertiannya yang sama-sekali tak bergerak. Kejumudan itu lebih tepat diterjemahkan dalam istilah continuity and change, di mana kiai sangat mempertahankan pentingnya kesinambungan tradisi keagamaan dalam rentangan sejarahnya yang sangat panjang di antara gerakan-gerakan dinamis kehidupan empiris itu sendiri. Artinya, masyarakat yang secara sosiologis niscaya selalu mengalami pergeseran dan perubahan selalu diperjuangkan untuk disinergikan dengan khazanah tradisi Islam klasik yang bersumber dari kitab-kitab salaf, yang notabene memiliki kesinambungan dengan intelektualitas generasi-generasi sebelumnya hingga sampai ke haribaan para sahabat dan Nabi. Namun, kalau di antara realitas sosiologis masyarakat tersebut terdapat kasus-kasus yang tidak tercover oleh khazanah tradisi klasik, maka di situlah diterapkan ijtihad untuk melahirkan suatu hukum baru, yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist sebagai doktrin pokok. Ini terlihat dari program bahstul masa’il yang diselenggarakan secara rutin untuk membahas berbagai problem kemasyarakatan kontemporer, yang di dalamnya bukan hanya melibatkan pengkajian dan pemahaman kembali terhadap kitab-kitab salaf, tetapi juga melibatkan ilmu-ilmu kontemporer. Para kiai, tegasnya, sangat meyakini bahwa keteguhan dan integritas Islam sama-sekali tidak mungkin berdiri dari masa kini an sich, tetapi harus memiliki mata rantai kesejarahan intelektualitas dan yurisprudensi dengan tradisi generasi-generasi sebelumnya.

Analisis

  1. Dari uraian Zamakhsyari di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sosok kiai dan pesantren –dengan segala tradisi dan warna-warni kehidupannya—bukanlah entitas yang jumud dan anti perubahan, mengingat mereka sangat kuat memelihara tradisi. Sebaliknya, Kiai dan pesantren merupakan entitas yang selalu berusaha selalu akomodatif dengan setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, sekaligus tetap menjaga tradisi demi kontinuitas kesejarahan kehidupan manusia. Hal ini nampak dari penegasan Zamakhsyari yang menyatakan bahwa kehidupan Kiai dan pesantren terbingkai dalam istilah continuity and change. Agaknya hal ini sesuai dengan pepatah Arab yang menyatakan “menjaga hal lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik. Penelitian Zamakhsyari ini berhasil menemukan adanya kesamaan pandangan hidup yang sangat mendasar dari semua kiai yakni selalu mengupayakan lestarinya tradisi di tengah-tengah arus perubahan. Walaupun penelitian ini hanya berdasar atas hal-hal yang bersifat kasuistis di pesantren Tebuireng –yang mewakili pesantren besar—dan pesantren Tegalsari –yang mewakili pesantren kecil--, namun setidaknya hal tersebut dapat dijadikan cerminan utuh kehidupan Kiai –dan pesantrennnya—di Jawa.
  2. Penelitian Zamakhsyari ini juga berhasil menguak tabir yang menyelimuti kisah di balik suksesnya Islamisasi di Jawa. Selama ini yang ada dalam benak kaum kebanyakan adalah bahwa penyebaran Islam di Jawa dapat berhasil karena jasa para Walisongo yang mampu mensinergikan budaya Jawa dengan ajaran Islam –melalui pagelaran Wayang misalnya--. Dengan penelitian ini, terkuak data bahwa Islamisasi di Jawa dapat berhasil juga berkat strategi yang dijalankan oleh para Kiai –yang melanjutkan misi Walisongo—yang mampu menyelami watak dan pandangan masyarakat Jawa yang sangat lekat dengan tradisi mistis –yang merupakan peninggalan ajaran Hindu--. Strategi yang dimaksud adalah tarekat yang dijadikan gerbang oleh para Kiai, untuk memasukkan ajaran Islam dalam Masyarakat.
  3. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dalam penelitian ini Zamakhsyari mengambil objek pesantren Tebu Ireng dan Tegalsari, di mana keduanya merupakan pondok yang sejenis yakni sama-sama merupakan pondok yang menerapkan sistem pendidikan non-modern, ketika penelitian ini dilakukan. Namun demikian, dari data yang dijumpai di kedua objek tersebut, Zamakhsyari mengambil kongklusi bahwa keduanya merupakan cerminan wajah kehidupan Kiai dan pesantren di Jawa, yang lekat dengan upaya mempertahankan tradisi. Yang menjadi pertanyaan adalah ; apakah sample yang diambil oleh Zamakhsyari tersebut sudah layak untuk dijadian sebagai parameter ? penelitian lainlah yang akan menjawabnya.